Kamis, 22 Juli 2010

Andromeda dan Kotak Kayu Kakek


Aku menyesal. Benar-benar menyesal.

Tapi aku yakin, aku tidak salah sepenuhnya. Coba kamu bayangkan jika suatu ketika ada kakek ubanan dengan jenggot hampir menyentuh perut datang padamu, lalu menitipkan dua kotak aneh yang tak kau ketahui isinya, kemudian dia berkata: "Kotak ini berisi hal yang sangat berharga bagi saya. Tolong kalian jaga, dan jangan coba-coba kalian buka karena sesuatu akan segera menimpa kalian. Namun jika saya masih belum kembali hingga dua purnama, maka kotak ini milik kalian berdua." Lalu belum sempat kamu berkata apa-apa, orang asing tersebut raib begitu saja. Nah, apa perasaan kamu saat itu juga?


Pertama, kamu pasti bingung. Kedua, kamu akan langsung penasaran dan ingin tahu isi kotak itu bukan?

Waktu itu kami lagi asyik-asyiknya mengunyah apel yang dibeli Ibu dari pasar. Saat itulah Kakek berjubah hitam itu datang lalu terjadilah hal seperti yang kuceritakan di awal. Aku bahkan belum sempurna menelan kunyahan apelku ketika sadar sepenuhnya tentang hal yang terjadi sesaat setelah Kakek itu hilang.

"Kau kenal Kakek itu?", kataku sesaat setelah sadar.

"Tidak." Andromeda, kembaranku menjawab cepat. Tentu saja dia tak kalah bingungnya denganku.

"Aku juga. Tapi siapa pun itu, pastilah dia orang jahat."

"Darimana kau tahu? Aku kira dia orang baik. Wajahnya itu lho, benar-benar teduh."

"Liat saja tuh bajunya. Hitam. Bukankah nenek lampir bajunya juga hitam? Hii..."

"Aku tidak percaya pada penampilan. Haji Saman suka pakai baju hitam, songkok hitam, bahkan sarungnya juga hitam. Tapi dia sering kasih aku buah apel..."

"Ah terserah kamu aja. Pokoknya dia orang jahat. Liat aja kelakuannya. Datang mendadak, hilang mendadak. Lalu nitipin kotak aneh. Eh, tambah lagi bawa-bawa bulan purnama segala. Seperti film-film pendekar di tivi saja."

"Tapi, awas lho, jangan coba-coba kau buka seperti kata Kakek tadi."

"Liat saja nanti." 

Bulan purnama pertama muncul dua minggu sejak kejadian itu. Jujur saja, walau aku meremehkan ucapan si Kakek, tapi tetap saja aku penasaran. Eh, siapa sih yang tidak penasaran ada barang yang dikatakan sangat berharga dititip begitu saja dirumahmu? Andromeda pasti juga penasaran. Tapi, dia sepertinya akan manut saja pada ucapan Kakek.

Dari awal kami sudah memilih bagian masing-masing. Karena aku lahir 10 menit lebih awal dari Andromeda, maka aku yang pertama memilih. Badanku juga lebih besar, pasti dia akan kalah kalau saja dia tak ingin mengalah dariku, dan lebih memilih berkelahi. Dan aku pun memilih kotak yang lebih besar dan bersepuh emas. Walau begitu, entah kenapa dia sepertinya bersyukur sekali mendapatkan kotak kayu jelek itu.

Aku benar-benar tak tahan lagi. Besok adalah malam purnama kedua. Namun hingga detik ini kakek tua itu tak muncul-muncul juga. "Si Kakek tidak akan datang, aku yakin itu!" Demikian pekikku ketika Andromeda mencoba mencegahku membuka kotak emas dan menyuruhku bersabar hingga besok malam.

Kami sempat bertengkar hebat. Dan kotak itu kubuka. Dari sinilah petaka itu bermula, dan sepertinya akan menjadi penyesalan seumur hidup bagiku.

Malam purnama kedua tiba. Namun belum ada juga tanda-tanda kedatangan Si Kakek. Menjelang pagi, ketika purnama menghilang, saat itulah Andromeda mulai membuka kotak kayu jeleknya. Setelah nama Tuhannya disebut, perlahan-lahan kotak itu dibukanya. Bersamaan dengan itu, cahaya keemasan menyeruak dari dalam kotak seperti terkurung sekian lama. Mataku, juga mata Andromeda silau dan buta sejenak. Setelah beberapa detik, dan mata kami mulai sadar dengan sekitar, kami melihat apel emas yang begitu besar dan segar. 

Andromeda tidak terlalu bahagia. Dia sepertinya iba padaku yang sejak pertama kubuka kotak emasku, aku sama sekali kehilangan suara. Aku bisu. Dan dalam kotak emas itu aku tidak menemukan apa-apa selain ranting-ranting busuk yang dikerek kumbang.

"Silahkan kamu yang memakannya dulu!" Aku terkejut. Adikku, Andromeda, yang Apple Addict itu, mempersilakanku untuk menikmati apelnya terlebih dahulu. "Jangan sungkan. Ini untukmu." 

Perlahan, Apel emas itu berpindah ke tanganku. Mataku berkaca-kaca. Dan aku mulai menangis di kunyahan yang pertama. 

Saat itulah aku mulai kembali bisa bicara. Ternyata semuanya adalah kutukan. Apel emas itu adalah penawar kutukan yang menimpaku. Dan Adikku, adalah emasku yang tak akan terganti.


Catatan Suhairi:
Kok jadi seperti kisah-kisah di Bobo ya? Hehe, silahkan komentar ya...  


7 komentar:

  1. kalau buat anak", terlalu berat bahasanya :) imho.

    BalasHapus
  2. hei, welkom! you are my first commentator.

    hehe. untunglah ini emang bukan buat anak-anak. tapi tema yang ditawarkan menuntun lahirnya kisah seperti ini. tengkyu!

    BalasHapus
  3. Hei!
    Menarik... menarik...

    Sedikit comment doank : di bagian "aku" jadi bisu, kayanya nggak keliatan gitu emosinya. Terus satu lagi kenapa "aku" jadi bisu dan isi kotak emasnya baru diungkap belakangan ya?

    :-)

    BalasHapus
  4. Nice story!! pesan moralnya MUANTAFF!!

    BalasHapus
  5. @ketaketiku
    ga ada emosinya ya? terusterang aku buatnya buru-buru. pengennya cepet2 posting di janjijumat. dasar ga sabaran aku!
    'aku' jadi bisu dan isinya itu baru dijelaskan belakangan biar ada kejutan gitu. kalau kamu ga terkejut berarti kejutanku gagal dong, hehe....

    @m. remie
    ternyata ada moralnya juga ya? kirain cuma ada sampah doank.. thanks deh...

    BalasHapus
  6. iya nih setuju sama M.Remie, pesan moralnya berasa banget hehehe.. jadi inget pesan, "orang sabar, buahnya manis" :)

    bagus nih!

    BalasHapus
  7. makasih anggun (namamu emang anggun kan?) rajin-rajin mampir ya?

    BalasHapus

Untuk mengurangi spam komentar, sahabat diminta melengkapi langkah verifikasi kata. Agar dimaklumi.